PENDIDIKAN NILAI DALAM ISLAM
oleh : EDY
A. Pendahuluan
Pendidikan
menurut Islam mempunyai kedudukan yang tinggi. Ini dibuktikan dengan wahyu
pertama yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW yang memerintahkan kepadanya untuk
membaca dalam keadaan beliau yang ummi di samping itu, wahyu ini juga mengandung
suruhan belajar mengenal Allah SWT memahami fenomena alam serta mengenali diri
yang merangkum prinsip-prinsip aqidah, ilmu dan amal. Ketiga
prinsip ini sangat penting dan menjadi objek kajian dalam falsafah pendidikan Islam.
Orientasi
pendidikan
nilai dalam islam sangat jauh dan melampau pandangan dunia, apapun
namanya sulit untuk menggunakan ukuran-ukuran yang kongkrit karena nilai yang
sesungguhnya adalah tertanam dalam diri setiap mukmin dan bertujuan menjadi
mukmin muttaqin, ukuran ukuran muttaqin
melampaui tujuan pendidikan yang berorientasi sesaat, oleh karena itu pendidikan nilai dalam islam hendaklah
diformat baru sehingga peserta didik tertanam nilai-nilai positif secara
subsatnsi kesadaran dan bukan formalitas belaka.
Agar
nilai-nilai islam tertanam secara baik dalam diri peserta didik maka yang perlu
dilakukan adalah menanamkan keyakinan atau motifasi yang mantap tentag
ketuhanan (aqidah/tauhid) secara baik kepada peserta didik sehingga
pertenggungjawaban manusia sesungguhnya adalah kepada Tuhan bukan kepada
manusia
Pendidikan
nilai yang selama ini dilaksanakan adalah nilai-nilai yang tidak membumi sehingga nialai yang tertera pada laporan
pendidikan menjadi kabur manakala dihadapkan pada permasalahan yang nyata hal
ini terjadi karena pendidikan nilai lewat mata pelajaran PMP (Pendidikan Moral Pancasila) atau sekarang
PKn (pendidikan kewarganegaraan) hanya bersifat hapalan dari sila-sila
pencasila.
Dalam
makalah ini menulis mencoba bersama-sama berdiskusi tentang pendidikan nilai
dalam islam untuk kemudian merumuskan bagaimana pendidikan nilai itu dapat
“membumi” dan diterima oleh peserta didik dalam rangka tanggung jawab untuk
menciptakan masyarakat yang beradab.
B. Pengertian Nilai
Kata Value kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia Menjadi nilai kata Value sendiri terambila dari kata Valere atau da dalam bahasa perancis kunoValoer namun ketika kata tersebut sudah masuk kedalam obyek tertentu dari sudut pandang tertentu tafsiran harga yang terkandung didalamnya memberikan tafsiran yang bermacam-macam[1]
Dalam sebuah laporan
yang ditulis oleh A Club of Rome (UNESCO, 1993) nilai diuraikan dalam dua
gagasan yang saling bertentangan disatu sisi nilai dimaknai sebagai nilai
ekonomi yang bersandar kepada nilai
produk, kesejahteraan, dan harga penghargaan yang begitu tinggi kepada
harta atau hal yang bersifat materi dan yang kedua nilai yang abstrak yang sulit
diukur dengan ukuran kongkrit seperti keadilan, kejujuran, kebebasan, kedamaian
dan sebagainya.[2]
Pemahaman terhadap
pemaknaan nilai yang berbeda dilandasi atas perbedaan cara pandang, karenanya
pemaknaan nilai paling tidak memiliki
penekanan pandangan sebagai berikut:
1.
Gordon
Allport sebagai seorang ahli psikologi kepribadian menurutnya nilai terjadi dalam wilayah
keyakinan yang merupakan tempat yang
tinggi dibanding dengan wilayah lainnya
seperti hasrat, motip sikapo dan keinginan karenanya nilai merupakan
keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya.[3]
2.
Nilai merupakan
patokan normatif yang mempengaruhi
manusia dalam menentukan pilihannya diantara tindakan alternatif,[4]
definisi nilai ini dikemukakan oleh Kupperman yang merupakan ahli
soisologi yang menjadi penekanan adalah
normatif atau lebih dikenal dengan norma
dimana norma harus dijunjung tinggi dalam kehidupan bermasyarakat.
3.
Value is
address of a yes.[5]
Dikemukakan oleh Hans Jonas Kata adrdress
disini bermakna tindakan yang dilakukan individu maupun sosial sedangkan
kata yes merupakan nilai individu seseorang dalam melakukan suatu
pilihan.
4.
Nilai
merupakan konsepsi (tersurat atau
tersirat yang sifatnya membedakan
individu dengan ciri-ciri kelompok) dari apa yang diinginkan, yang mempengaruhi
pilihan terhadap cara tujuan antara dan tujuan akhir tindakan depinsi ini dikemukakan oleh Kluckohn.[6]
Mungkin setiap kita
memiliki depinisi tersendiri tentang nilai namun nilai pada dasarnya tidak
lebih dari sebuah ukuran untuk melakukan tindakan yang dilakukan menurut
ukuran-ukuran tertentu.
Batang
Tubuh Nilai
Dalam bidang filsafat nilai paling tidak
dikaji dari tiga bahasan yakni:
1. Ontologi yang membahas tentang hakekat nilai yang dimaknai sebagai
rujukan dan keyakinan untuk menentukan pilihan. dan Struktur nilai yanng terdiri dari logis, etis, estetis kenikmatan,
kehidupan,kejiwaan, kerohanian,politk sosial, agama dsb
2. Epistemologi
yang meliputi objek nilai
yakni agama, logika,filsafat, ilmu pengetahuan, sikap ilmuah,norma, kebiasaan,
karyaseni, dan lainnya, cara memperoleh
nilai yakni berpikir rasional, logis, empiris, memfungsikan hati melalui meditasi, thariqat
atau intuisi yang shohih, Ukuran
kebenaran nilai yakni Lgik, Theistis, Mistik, Humanis
3. Aksiologi kegunaan pengetahuan nilai misalnya
nilai dalam wilayah filsafat, Ilmu pengetahuan, nilai pada wilayah mistik dan
cara nilai menyelesaikan masalah nilai filsafat pada wilayah baik buruk Ilmu
Pengetahuan misalnya keteladanan pembiasaan dengan mistik seperti wirid,
puasa,sholawat dll.
Nilai dan Norma
Dari depinisi diatas dapat disimpulkan
bahwa pada dasarnya nilai merupakan
sekumpulan kebaikan yang disepakati bersama ketika kebaikan tersebut menjadi aturan dan
menjadi kaidah yang digunakan sebagai ukuran untuk menilai sesuatu maka itulah yang disebut dengan norma
Membungkukkan badan dan
mengatakan punteun meruapakan
adat dalam masayarakat sunda manakala melewat atau berlalu dihadapan orang yang
lebih dewasa atau orang tua dan merupakan nilai, sementara tatacara lewat yang disepakati bersama
merupakan norma
Nilai dan moral
Nilai paling tidak mengandung tiga kaida
yaitu::
1. Intelektual (benar dan salah)
2. Estetika (Indah, kurang indah, tidak indah)
3. Etika (baik dan buruk)
Kejujuran adalah nilai yang baik, ketika kejujuran sudah dimanifestasikan
sebagai tindakan dalam adat kebiasaan seseorang disebut dengan moral.[7]
Perbedaan
cara pandang terhadap nilai mengakiubatkan pemaknaan terhadap sesuatu menjadi
berbeda fenomena “ngebor” Inul Daratista misalnya dimaknai beragam disatusisi
dikaitkan dengan moralitas disatusisi dikaitkan dengan seni itu sendiri.
Perbedaan
cara pandang ini dapat kita saksikan dalam peradaban Barat dan Islam mislanya
ketika seni itu berlandaskan ajaran agama maka tidak ada patung atau gambaran
manusia dalam bentuk telanjang utuh, tetapi ketika masuk ke dalam peradaban
Barat yang berlandaskan Hedonisme atau paham kesenangan maka seni dimaknai
sebagai “seni untuk seni” art for art kanyataan gambar telanjang utuh menjadi tidak
bermasalah.
Hal
inilah yang oleh Smuel P. Huntington
bahwa masa depan dunia akan
dilanda pertarungan nilai[8]
dan Barat akan dipaksakan untuk tunduk dan hidup berdampingan dengan
sistem-sistem budaya lain di dunia
C. Islam dan Pendidikan Nilai
Ajaran Islam adalah
ajaran- ajaran yang penuh dengan muatan-muatan nilai, sifat-sifat seperti sabar, siddiq (benar dalam
segala aspek) amanah, qonaah, optimis, menganjurkan umatnya untuk kaya
tetapi tidak kikir, sabar tetapi tidak tertindas, berjihad dalam arti
yang sesungguhnya dengan ilmu harta dan amal
nilai-nilai sebagaimana tersebut sehrusnya ditanggapi secara serius oleh
umatnya untuk dilaksanakan dan selalu menjadi umat yang terdepan didalam
berbagai aspek kehidupan.
Peranan guru dalam
menanamkan sifat-sifat ini dilembaga pendidikan atau dalam mata pelajaran Agama
Islam sangat besar,[9]
kenyataan masyarakat Indonesia saat ini
sangat mudah tersinggung bertinadak anarchi bahkan tidak mudah percaya
dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. walaupun memberikan nialai positif
tetapi dampak kerugian yang ditimbulkan akibat tindakan “hampa nilai” yang
dilakukan seolah-olah bangsa kita bangsa yang tidak bermoral.[10]
Quran sebagai wahyu
tidak dapatlagi dibantah kebenarannya dalam memberikan inspirasi kepada umatnya
untuk melakukan tindakan tindakan terpuji tetapi apakah tindakan-tindakan
tersebut memiliki teori dan landasan berbasis pada Quran atau hanya
berorientasi sesat. Sejauh mana teori,konsep, pelaksanan, kegian, dan
operasinal yang kita lakukan[11] .
atau lebih jelasnya lihat diagram berikut.
|
||||
|
||||
|
||||
|
||||
|
Sebenarnya yang lebih
berhak maju adalah umat Islam dibanding degan Barat karena orientasi pandangan
hidupnya melampau dunia yakni akhirat
yang ukuran-ukurannya tak tampak, hanya pribadi dengan Tuhan lah yang
tahu tetapi karena “Miskin” amal sholeh teori dan operasioanal sehingga menjadi
“korban” dari peradaban dan globalisasi
Ilustrasi
Umat Islam 1.dunia 2.Akhirat
Barat 1.dunia
Bagi umat Islam al-Quran
merupakan pedoman tertinggi dan sudah tidak dapat diragukan lagi kebenarannya.
al-Quran yang merupakan kitab suci penuh nilai positif harus diterjemahkan
kedalam kehidupan sehari-hari sehingga
isyarat-isyarat al-Quar yang berkaitan dengan amal sholeh dan taqwa
dilaksanakan dalam kegiatan seharti-hari.
Dari
diagram diatas kita dapat pahami bahwa sehebat apapun gagasan Quran tentang
kehidupan pada hakekatnya dikembalikan kepada kecerdasan berpikir umat islam
itu sendiri dalam menterjemahkan Quran. Sebagai contoh tentang kebersihan
al-Quran mengisyaratkan bahwa:
1. Wahyu
“Allah mencintai orang-orang yang
bertaubat dan mensucikan diri” (Q.S al-Baqarah/2:222)
2. Teori
Teori biasanya diperkuat oleh hadits dan
perkataan shahabat dan ulama misalnya
“kebersihan sebagian dari iman”
“akal yang sehat terdapat dalam jiwa yang
sehat”
3. Konsep
menghubungan kebersihan dengan faktor kesehatan sepeti
munculnya penyakit demam berdarah, alergi, AIDS yang merupakan diakibatkan dari
hidup dan kehidupan yang tidak bersih.
4.Pelaksanaan
Dilaksanakan dalam kehidupan real
masyarakat misalnya dengan membuang sampah pada tempatnya dan didukung dengan
peran serta pemerintah yang mengawasi bidang ini yang diikuti dengan peraturan
dan sangsi yang tegas
6.Kegiatan
Merupakan terjemahan dari pelaksanaan yang
diwujudkan dalam pelaksanaan nyata dan
menyentuh langsung kedalam aspek-aspek kehidupan bermasyarakat
7. Operasional
Suatu
pelaksanaan dimana nilai-nilai kebersihan terinternalisasi dalam setiap
individu masyarat.
al-Quran
sebagai kitab suci umat Islam disamping sebagai pedoman hidup juga memiliki
keterkaitan-keterkaitan terhadap perkembangan pengetahuan dan tekhnologi
isyarat ilmu pengetahuan telah muncul dalam al-Quran tetapi karena kekurangan
Riset dan minimnya tekhnologi sehingga pengetahuan-pengetahuan lnialai dan
tekhnologi terkini ebih sering muncul dikalangan orang non Islam walaupun
peletakan dasar pengetahuan telah dilakukan oleh ulama-ulama Islam terdahulu
hal ini tidak lain karena minimnya pengetahuan dan kurangnya landasan
operasional pelaksanaan.
Dalam prakteknya hal ini
begitu sulit dilakukan mengingat tradisi, kultur dan budaya masyarakat
Indonesia yang paternalistik. Agar
supaya nilai tersebut “membumi”[12]
dalam masyarakat yang diperlukan selanjutnya adalah tauladan dalam berbagai
aspek kehidupan dan dimulai dari “elit” masyarakat sebagaimana keberhasilan
Rasulullah Saw dalam berdakwah yang diantaranya karena beliau mencontohkan
sebelum melakukan dan mengatakan apa yang sudah dilakukan.
Untuk mewujudkan nilai
islam peran pendidikan menempati bagian
terpenting dalma rangka menyampaikan pesan-pesan nilai sosial islam kepada umat
dan masyarakat karenannya peran da’wah
dan pendidikan harus ditingkatkan dan diatur dengan manajemen yang bagus yang
tidak berorientasi pada materi tetapi pada nilai Islam itu sendiri.
Pendidikan atau da’wah bi
al-lisaan dalam proses pemidahan pengetahuan nilai keislaman baik dalam
bidang pendidikan kepada siswa dan masyarakat masih tetap diperlukan karena menumbuh kembangkan
nilai-nilai islam itu dimulai dari pemahaman terhadap islam itu sendri, namun
yang lebih penting adalah da’wah bi- al hall karena lebih utama dan langsung menyentuh
kepada masalah yang dihadapi umat permasalahan yang ada kemudian sulit bagi
umat saat ini untuk mencari pigur atau
tauladan yang baik (almasalul al-A’la/ idola) yang dapat menyesuaikan
dengan perkembangan masyarakat dan zaman.
Aspek perjuangan nilai Islam sesungguhnya diawali pada
perjuangan dengan menumbuh suburkan
aspek-aspek akidah dan etika dalam setiap diri pemeluknya.[13] Untuk mewujudkan nilai sosial yang mantap
harus dilakukan beberapa tahapan yang meliputi
1. Keluaraga
Yakni suatu keluarga
yang berkualitas. Setiap jiwa bertanggung
jawabuntuk menyucikan jiwa dan harta
dengan memperhatikan pendidikan yang cukup kepada pendidikan anank-anak
dan istri dan menciptakan hubungan yang
serasi antara semua anggota masyarakat
2. kewajiban anggota masyarakat yang melahirkan
hak-hak tertentu yang sifatnya keserasian dan keseimbangan antara pribadi dan
masyarakat.
3. Pribadi dimana setiap orang dituntut untuk dapat bertanggungjawab baik kepada pribadi masyarakat dan Tuhan
untuk dapat bekerja sesuai dengan kemampuannya
Dari
segi kepentingan pendidikan nilai dilakukan dalam bentuk pendidikan keagamaan
dan pendidikan kebangsaan dilaksanakan disekolah-sekolah formal di Indonesia
mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi yang berupa
“titipan agama” berbentuk pendidikan agama dan budi pekerti “titipan kebangsan” atau nasionalis berupa
pendidikan kewarganegaraan atau yang dikenal dengan civic educations.
Pendidikan
moral yang dilkaksanaan pada masa orde baru dengan melakukan
penataran-penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) terbukti
tidak ampuh dalam menghadapi tantangan globalisasi
P4 yang disampaikan lebih bersipat
“doktrin” dari pada sebagai pesan moral dan diikuti hanya sebagai “syarat
kesetiaan” terhadap orde baru pada saat itu
yang dilakuykan hampir disemua lini pemerintahan dan swasta baik kepad
siswa karyawan apalagi kepada pejabat
pemerintahan terbukti “gagal” hal ini karena penanaman moral itu “hampa nilai”
dan tidak membumi atau terinternalisasi dalam masyarakat.
Seharusnya
dengan dilakukannya Penataran-penataran P4 bangsa Indonesia terbebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) tetapi apa yang terjadi kemudian adalah
sebalikanya dan sampai saat ini diantara “musuh” terberat yang dihadapi bangsa
ini adalah KKN.
Beberapa tahun lalu,
dunia pendidikan kita diramaikan oleh diskusi soal format baru pendidikan moral
di sekolah. Zaman Orde Baru, pendidikan moral itu selalu dikaitkan dengan
nilai-nilai dasar Pancasila sebagai filosofi atau pandangan-dunia bangsa
Indonesia yang kemudian disajikan dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan yang sebelumnya disebut Pendidikan Moral Pancasila.
Diskusi itu berusaha
memberi ruang lebih terbuka bagi pemaknaan moral bagi peserta didik. Gagasan
yang melandasi usaha ini adalah, pendidikan moral di sekolah yang berlangsung
sebelumnya terlalu negara-sentris, kering, hambar, bahkan cenderung ideologis
dan pro-status quo. Reformasi di bidang pendidikan moral di sekolah juga
dipandang mendesak karena diduga salah satu biang terpuruknya bangsa ini dalam
krisis multidimensi diakibatkan kegagalan pendidikan moral di sekolah.
Formulasi substansi dan
materi pengajaran pendidikan moral yang lama, terlalu berpola deduktif, khas
kebijakan politik Orde Baru yang ingin mengontrol semua bidang kehidupan.
Pemaknaan nasionalisme, misalnya, jarang sekali dikaitkan dari sudut pandang
kelompok- kelompok masyarakat yang begitu beragam. Nasionalisme disajikan dalam
bentuknya yang negara-sentris. Separatisme dimaknai secara hitam-putih tanpa
dilihat dari perspektif lebih luas. Sementara itu, nilai-nilai seperti
kejujuran, ketulusan, kebajikan, dan semacamnya, banyak tampil sekadar semacam
petuah tanpa ekses
Pendidikan Nilai Agama Islam disekolah
Pendidikan agama Islam
yang dilalkukan disekolah formal di Indonesia SD/MI SMP/MTs SMA/MA/SMK
dilakukan dalam dua sisi
1.
sebagai mata pelajaran Disekolah sekolah dibawah
naungan diknas namun dibeberapa sekolah dibawah naungan Diknas mengembangan
sendiri muatan pendidikan islam dengan istilah “muatan khususu” atau dirosah
islamiyyah[14]
karena KBK dan KTSP memungkinkan tentang hal tersebut dan pemerintah hanya
memberikan batasan minimal untuk mata pelajaran
2.
sebagai rumpun mata pelajaran sebagaimana yang
dilakukan di lembaga pendidikan yang berada dibawah naungan Departemen Agama
dengan mata pelajaran dengan sebutan Aqidah akhlak,Fiqih, Sejarah Islam, Bahasa
Arab dan al-Quran Hadits
Pendidikan Agama Islam memiliki peran yang penting dalam menanamkan
kepribadian dan akhlak mulia siswa karena mata pelajaran ini mengandung muatan
nilai, moral, etika beragama karenanya seorang guru PAI memiliki peran terdepan
dalam menanamkan kesadaran nilai-nilai keagamaan tersebut
Beberapa karakteristik
PAI dalam buku pedoman khusus PAI sebagai berikut:
1.
PAI merupakan mata pelajaran yang dikembangkan dari
ajaran-ajaran pokok agama Islam
2. PAI
bertujuan untuk membentuk peserta didik agar beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT dan memiliki
akhlak mulia
3. PAI
mencakup tiga kerangka dasar, yaitu aqidah, syariah, dan akhlak.
Materi esensia PAI dapat dilihat dalam table berikut:[15]
Nilai dalam cakupan luas
|
Tujuan kurikulum
|
Keimanan dan Ketaqwaan
Kepada Allah SWT
(Aqidah)
|
Untuk memperkokoh aqidah
beragama dan mencerahkan fitrah
beragama peserta didik
|
Kebenaran dan keyakinan
yang kuat terhadap hukum hukum
(Syariat)
|
Untuk memperluas pengetahuan
dan kesadaran peserta didik terhadap hukum-hukum agama yang harus ditaati
atau dihindarkan
|
Etika dan Moral beragama
(Akhlak)
|
Untuk melatih peserta
didik berprilaku terpuji baik dalam
hubungannya dengan sesame manusia, alam dan Tuhan
|
Pendidikan
di dalam Islam tidak dapat terlepas dari nilai keTuhanan yang bertujuan
terwujudnya insan yang muttaqiin
peranan PAI dalam hal ini begitu
penting falsafah Iqro misalnya
dapat dijadikan landasan untuk mengenal manusia secara utuh yang diciptakan
tidak lain untuk beribadah kepada Allah SWT.
Pendekatan
pendidikan keagamaan dalam penanaman nilai terhadap siswa berupa aqidah syariah dan akhlak pada gilirannya akan
membutuhakan pendidikan kontekstual dan multi disiplin ilmu tidak hanya
memberikan gambaran abstrak terhadap pelajaran yang akhirnya menjadi hampa
nilai. Hal inilah yag seharusnya dilakukan oleh para pendidik agama Islam.
Pendidikan
Agama Islam yang merupakan salah satu bagian dari mata pelajaran dalam
pendidikan di sekolah-sekolah formal harus juga dipadukan dengan materi-materi
pelajaran lain sehingga menjadi satu bagian yang utuh dan tidak terpisah
walaupun bukan menjadi objek kajian yang diprioritaskan tetapi “benang merah”
harus ada sehingga pembinaan moral nilai dan akhlak bukan hanya menjadi
tanggung jawab guru agama tetapi menjadi tanggung jawab semua orang yang
terlibat didalam pendidikan itu sendiri dan ada kesatuan yang utuh antara nilai agama, akhlak mulia, tidak dipisahkan
karena dunia pada dasarnya adalah jalan untuk mencapai kebahagiaan akhirat.
Wallohu a’lam
DAFTAR PUSTAKA
Mulyana,
Rohmat Mulyana, Mengartikulasi pendidikan nilai , Bandung : 2004
Madjid,Nurcholis,
Islam Agama Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2000
Syihab M.Quarih Membumikan
al-Quarn,Mizan:1998
Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan SDIT al-Mawaddah Cibinong Bogor Jawa Barat , 2006 ,untuk
kalangan sendiri tidak diterbitkan.
[1] Nilai manusia menurut sudut
pandang Barat dan Islam memiliki perbedaan, Pengertian manusiapun menjadi
berbeda kalau kita dasarkan pada disiplin ilmu tertentu., Lih. Dr. Rohmat
Mulyana, Mengartikulasi pendidikan nilai , Bandung : 2004 h.7
[2] ibid., h.9
[3] ibid
[4] Ibid
[5] Ibid, dikemukan oleh Hans Jonas dikutip dari Rohmat mulyana, ibid
[6] ibid h.10
[7] Rahmat Mulyana, op.cit. h.18
[8]Nurcholis Madjid, Islam
Agama Peradaban, Jakarta: Paramadina, 2000 h, 262 Smuel P. Huntington terkenal dengan teori “The Clash of
Civilization?” bahwa masa depan akan diramalkan akan adanya pertentangan
antara peradaban yakni Islam, Barat yang Kristen dan Konmfusionisme
[9]Disebutkan dalam mata pelajaran
Agama Islam karena lebih memuat nilai-nilai keagamaan namun seharusnya
nilai-nilai ini melekat atau terinternalisasi dalam setiap pelajaran atau
pelajaran apapun yang dipadukan dengan pendidikan nilai
[10] Setiap hari media Televisi selalu menayangkan kriminalita , tindakan korupsi, pembantaian,
“mutilasi”, pemerkosaan, masalah TKI dll
yang bebas dilihat oleh siapa saja
pendidikan moral yang diberikan disekolah seolah hilang dan lebih bermakna pada tayangan TV
[11]Sebagaimana yang dilakukan oleh
Prof Dr H. Abudinnata dalam perkuiahan Manajemen Pendidikan Islam dalam
merumuskan “/Membumikan nilai-nilai Islam “.
[12] Istilah “membumi” sebagaimana
yang dikemukakan oleh Prof Quraish Syihab dimana penulis memaknai dapat diterima dan terbiasa atau menjadi
kebiasaan dan tradisi tanpa paksa yang dilakukan oleh masyarakat
[13]M.Quarih Syihab, Membumikan
al-Quarn,Mizan:1998, h. 241
[14] Dapat dilihat pada kurikulum
Sekolah Dasar Islam terpadu Sebga contoh Kurikulum Sekolah Dasar Islam Terpadu
al-Mawaddah yang lebih dikenal dengan Kurikulum tingkat satua pendidikan
menggunakan istilah Dirosah Islamiyyah Lih. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan SDIT
al-Mawaddah Cibinong Bogor Jawa Barat , 2006 ,untuk kalangan sendiri tidak diterbitkan.
[15] Rohmat Mulyana, op.cit., h.
205 dengan penambahan seperlunya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar