Sabtu, 05 April 2014

PENGEMBANGAN MANAGEMEN PENDIDIKAN ISLAM


PENGEMBANGAN MANAGEMEN PENDIDIKAN ISLAM
OLEH : EDY

A.    Pendahuluan
Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dapat menjawab tantangan masadepan dan era globalisasi, dunia yang kita tempat pada saat ini seolah menjadi semakin kecil dengan ditemukannya penemuan-penemuan didalam berbagai bidang pengetahuan.
 

Pendidikan  berperan penting dalam membentuk karakter umat manusia. Dalam kehidupan umat beragama, pendidikan agama yang humanis dan toleran terhadap umat dan sesama  manusia lainnya sangat diperlukan. 


Dari problem keagamaan yang dipaparkan di muka, maka model-model pendidikan Islam yang cenderung eksklusif, mengagungkan klaim kebenaran, sakralisasi pemaknaan teks-tek agama, tidak peka terhadap problem kemanusiaan dan kealaman, dan isolatif terhadap informasi kebenaran yang datang di luar pemahaman Islam, maka perlu dilakukan "format ulang" dengan model tafsir keagamaan ataupun pendekatan agama yang dapat menjawab tantangan masa depan umat dan bangsa.
Relevansinya dengan paradigma baru pendidikan Islam dalam masyarakat majemuk adalah menciptakan kesadaran pluralisme agama dengan menumbuhkan perasaan berbagi kemanusiaan dengan orang-orang yang secara fundamental berbeda orientasi ideologisnya.  Keharusan untuk berbagi dalam bumi yang kecil ini hendaknya memaksa kita untuk memikirkan kembali alat-alat kultural dan sosial kita agar mampu bertahan (survive) dengan perdamaian, kebebasan dan martabat manusia
Islam yang ingin kita kembangkan adalah Islam yang kompatibel dengan modernitas. Karena, kalau kita bericara masalah modernitas, maka syaratnya adalah memiliki rasionalitas, demokratis dan toleran terhadap perbedaan, berorientasi ke depan (future oriented) dan tidak backward looking (melihat ke belakang). Inilah yang menjadi ciri modernitas. Jadi model keislaman seperti inilah yang seharusnya kita kembangkan melalui lembaga-lembaga pendidikan Islam.
B. Pengertian Globalisasi
Globalisasi dapat diterjemahkan sebagai pandangan yang mendunia yang didukung oleh berbagai kemajuan  didalam berbagai bidang kehidupoan manusia menurut akhbar ahmad dan Hasting  yang memebrikan arti bahwa globalisasi adalah sebuah perkembangan yang cepat didalam telekomunikasi, transformasi, informasi yang dapat membawa bagian-bagian dunia yang jauh  dapat dijangkau dengan mudah,  dan dapat diinformasikan ketempat yang lain dengan mudah.
Dalam era globalisasi orang-orang yang memiliki kemajuan dibidang tekhnologi dalam berbagai bidanglah yang menjadi pemenang dan mendominasi dunia.  pada saatnya penjajahan yang bersifat senjata akan diubah menjadi penjajahan dalam bidang budaya dan tekhnologi  terutama kepada dunia ketiga yang merupakan sebutan bagi negara korban globalisasi seperti Indonesia.
Penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, tetapi bagaimana mengahapuskan penjajahan dalam era globalisasi  yang menjajah dalam bidang budaya dan tekhnologi  tentunya menjadi sukar menjawabnya dan yang harus terus dilakukan adalah inovasi dalam dunia pendidikan termasuk dalam dunia pendidikan Islam agar dapat menjawab tantangan globalisasi dan bukan korban globalisasi.



C. Managemen Pendidikan Islam di Era Global
Allah Swt telah berfirnan dalam Q.S ar-Ra’ad/13:11 yang terjemahannya
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS ar-Ra’ad [13]: 11)
Ada yang paradoks dengan perkembangan umat dewasa ini di tengah tantangan globalisasi yang mempengaruhi segala aspek kehidupan manusia, umat Islam cenderung terjebak dengan persoalan internalnya sendiri. Konflik, korupsi, kemiskinan, keterbelakangan dan bahkan kelaparan belum ‘menjauh’ dari tubuh umat Islam
Padahal, dunia terus bergerak maju. Globalisasi memungkinkan semua komponen masyarakat dunia menatap masa depan. Negara-negara maju terus melaju, sedangkan negara-negara berkembang lainnya terus bergerak menjadi negara industri baru. Mereka berlomba dan berpacu mewujudkan kemajuan untuk kejayaan bangsa dan kesejahteraan rakyatnya.
Ada sejumlah negara Muslim, yang sudah bergerak menjadi negara industri, seperti di Timur Tengah dan Asia Tenggara, tetapi mereka kalah dalam persoalan keunggulan kompetitif. Mereka mengandalkan kemurahan alam, sebagai bahan baku industri. Beruntung Allah Swt memberkahi banyak negara-negara Muslim dengan minyak dan mineral, yang menjadi penopang kehidupan rakyatnya.
Namun bagaimana dengan konteks globalisasi? Apakah manusia masih dapat berpangku tangan pada kemurahan alam? Secara teoretis, alam punya keterbatasan. Abad global adalah zaman inovasi dan kreativitas, tidak hanya di bidang rekayasa teknologi tetapi juga rekayasa sosial. Rekayasa teknologi dan rekayasa sosial berjalan seiring untuk menciptakan nilai tambah atas suatu hasil alam dan kreasi manusia demi mewujudkan tujuan-tujuan kehidupan manusia yang lebih baik.
Kita sependapat, pada dasarnya globalisasi sesuatu yang niscaya. Tidak ada tempat bagi eksklusifisme. Kekhawatiran yang muncul dewasa ini di banyak kalangan hanyalah tanda-tanda bahwa mereka sadar akan dampak mondialisme. Muncul kesadaran, pilihan yang tersedia tidak lebih dari dua: pecundang atau pemenang. Tidak ada istilah merajuk dengan keniscayaan zaman ini.
Umat Islam dengan populasi seperlima penduduk dunia sudah seharusnya menyadari betul fenomena zaman ini. Dulu sudah ada globalisasi, ditandai perdagangan antarkerajaan kuno, tribalisme, peperangan dan migrasi, tetapi globalisasi di zaman kita jauh berbeda. Globalisasi kali ini tidak ada bandingnya  dalam sejarah. Ke depan ia akan terus mengalami proses dialektika yang sistemik. Konflik dan ketegangan akan terus mewarnai proses sejarah manusia.
.    Cuma, internal umat Islam saat ini masih dililit sejumlah permasalahan krusial yang bisa menggiring umat menjadi pecundang sejati di era global di antaranya masalah kemiskinan yang berimbas kedalam berbagai sektor kehidupan yang tidak jauh berbeda dari lingkaran kemiskinan termasuk pemodernan pendidikan yang merupakan cara terampuh melawan globalisasi. Kalau kita jejerkan negara-negara umumnya masih dibelit kemiskinan yang bersifat struktural dan kultural sekaligus.
Apalagi kalau kita tujukan  pandangan ke negara-negara Afrika dan Asia Selatan, maka angka kemiskinan makin memuncak. Sebutlah negara-negara seperti Nigeria, Sudan, Ethiopia, Senegal, Chad, atau Pantai Gading yang mayoritas Muslim, ternyata masih dibelit kemiskinan akut. Kematian akibat kekuragan gizi alias kelaparan masih menjadi pamandangan biasa di benua hitam. Begitu pula di Asia Selatan. Gejala serupa juga melanda Asia Tenggara, khususnya Indonesia.
Umat Islam juga masih dibelit korupsi. Di antara problem krusial yang menyebabkan keterbelakangan umat  Islam adalah korupsi. Korupsi memang gejala mondial, seiring dengan perkembangan kapitalisme yang merusak, tetapi korupsi di negara-negara Muslim betul-betul telah bersifat destruktif. Ironisnya, terjadi pula resistensi atas gerakan antikorupsi.
Problem lainnya berkaitan dengan sektor pendidikan yang masih parah. Secara umum negara-negara Muslim tergolong sedang berkembang. Secara geografis, umumnya terletak di Afrika dan Asia. Tingkat pendidikan masih memprihatinkan. Masih banyak yang buta huruf. Angka partisipasi di dalam pendidikan masih rendah. Sulit bagi mereka bicara tantangan Globalisasi  ketika sebagian besar mereka masih sibuk dengan urusan perut.
Di bidang pendidikan, negara-negara Muslim juga masih dibelit berbagai macam penyakit menular. Sementara pemerintahnya yang memiliki anggaran terbatas tidak berdaya. Apalagi sebagiannya hilang di meja-meja birokrasi. Jadi penyebab lainnya, ketidakmampuan menangani atau mengelola sektor pendidikan. Manajemen korup menyebabkan anggaran yang dialokasikan bagi peningkatan kesejahteraan warga menjadi hilang begitu saja.
Konflik yang berkepanjangan di negara-negara Muslim juga problem tersendiri. Secara umum, ini merupakan global  paradox, namun intensitas konflik di negara-negara Muslim sangat tidak masuk akal. Sering konflik itu terjadi antara umat Islam  sendiri. Kondisi paling memperihatinkan tentu gejala terorisme.
Tidak ada metode lain bagi umat Islam  kecuali melakukan terobosan untuk keluar dari pelbagai permasalahan internalnya. Ini mengingat tantangan globalisasi bisa memunculkan dua kemungkinan tadi: menjadi pemenang atau pecundang. Konflik internal yang memelahkan harus dihentikan. Korupsi mesti diberantas karena inilah penyakit utama yang mengganjal kemajuan bangsa Islam  selama ini.
Sektor pendidikan jelas menjadi andalan pokok untuk bersaing di era global  pendidikan  harus digenjot habis-habisan oleh suatu kepemimpinan yang kuat. Pemimpin korup jelas tidak relevan untuk meningkatkan kemajuan suatu bangsa. Dunia Islam juga tidak bisa lagi diamanatkan kepada pemimpim yang lemah, sekalipun dipilih secara demokratis.
Yang dibutuhkan adalah pemimpin-pemimpin Muslim yang mampu mentransformasi keunggulan kompetitif, bukan lagi keunggulan komparatif. Semua negara bisa menciptakan produk yang sama, tetapi bagaimana keunggulan komparatif yang masih dipunyai negara-negara Islam bisa dikonversikan menjadi sesuatu yang dapat bersaing di era pasar global tidak hanya dalam konteks ekonomi, tapi juga sosial, politik, dan militer.
Pada era global Islam yang ingin kita kembangkan adalah Islam yang kompatibel dengan modernitas. Karena, kalau kita berbicara masalah modernitas, maka syaratnya adalah memiliki rasionalitas, demokratis dan toleran terhadap perbedaan, berorientasi ke depan (future oriented) dan tidak backward looking (melihat ke belakang). Inilah yang menjadi ciri modernitas. Jadi model keislaman seperti inilah yang seharusnya kita kembangkan melalui lembaga-lembaga pendidikan Islam.
    Oleh karena itu pendidikan yang harus dikembangkan adalah untuk menciptakan umat yang
1.    modern,
2.    rasional
3.    demokratis
4.    toleran terhadap perbedaan,
5.    berorientasi ke depan (future oriented) dan tidak backward looking (melihat ke belakang).
Dunia Pendidikan Islam khususnya di Indonesia belum terlalu lama memadukan ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu umum munculnya sekolah-sekolah islam terpadu yang pada saat ini cukup semarak dan biasanya berada dibawah “payung” Diknas merupakan antitesis dari keberadaan madrasah yang selama ini jalan ditempat dan lamban dalam menghadapi perubahan. 
Dikotomi antara ilmu umum dan ilmu keislaman dalam proses pembelajaran  dapat dipandang sebagai “kesalahan pemaknaan” karena menurut penulis setiap ilmu itu sudah islam. Dikotomi ini mau tidak mau menyebabkan kita unggul dalam ilmu agama yang ukurannya adalah abstrak dan minim dalam ilmu pengetahuan modern sehingga menyebabkan bahwa sampai kini dunia islam masih menjadi korban dari globalisasi diberbagai sektor dan menjadi lahan yang mudah untuk dijajah dalam era globalisasi.
Teknologi modern telah memungkinkan terciptanya komunikasi bebas lintas benua, lintas negara, menerobos berbagai pelosok perkampungan di pedesaan dan menyelusup di gang-gang sempit di perkotaan, melalui media audio (radio) dan audio visual (televisi, internet, dan lain-lain).
Sebagai akibatnya, media ini, khususnya televisi, dapat dijadikan alat yang sangat ampuh di tangan sekelompok orang atau golongan untuk menanamkan atau, sebaliknya, merusak nilai-nilai moral, untuk mempengaruhi atau mengontrol pola fikir seseorang oleh mereka yang mempunyai kekuasaan terhadap media tersebut. Persoalan sebenarnya terletak pada mereka yang menguasai komunikasi global tersebut memiliki perbedaan perspektif yang ekstrim dengan Islam dalam memberikan criteria nilai-nilai moral; antara nilai baik dan buruk, antara kebenaran sejati dan yang
Fakta yang menyakitkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia berada di urutan 12 dari 12 negara Asia, bahkan lebih rendah dari Vietnam. Sementara itu, berdasarkan hasil penilaian program pembangunan PBB (UNDP) pada tahun 2000 menunjukan kualitas SDM Indonesia menduduki urutan ke-109 dari 174 negara atau sangat jauh dibandingkan negara Singapura yang berada pada urutan ke-24 (Satunet.com).
Lalu bagaimanakah kita memperbaiki sistem pendidikan kita agar dapat memberikan pendidikan yang bermutu bagi warga negara Indonesia. Dalam konteks pendidikan, Islam telah menentukan bahwa negaralah yang berkewajiban untuk mengatur segala aspek yang berkenaan dengan sistem pendidikan yang diterapkan dan mengupayakan agar pendidikan dapat diperoleh rakyat secara mudah. Perhatian Rasulullah saw terhadap dunia pendidikan tampak ketika beliau menetapkan para tawanan Perang Badar dapat bebas jika mereka mengajarkan baca-tulis kepada sepuluh orang penduduk Madinah.
Imam ad-Damsyiqi telah menceritakan sebuah riwayat dari al-Wadliyah bin Atha’ yang menyatakan, bahwa di kota Madinah pernah ada tiga orang guru yang mengajar anak-anak, khalifah Umar bin al-Khathab memberikan gaji kepada mereka masing-masing sebesar 15 dinar                  ( 1 dinar=4,25 gram emas).
Itulah sistem pendidikan ideal yang telah dicontohkan oleh rasul dan sahabat. Namun, yang terjadi di Indonesia saat ini justru sangat menyimpang. Biaya sekolah yang membumbung bahkan mencapai jutaan membuat rakyat Indonesia yang “miskin” tak mampu menjadi kaya. Sistem pendidikan Indonesia masih menggunakan warisan dari zaman kolonial Belanda yang berorientasi pada materialisme. Hal ini menimbulkan dampak buruk, karena ideologi materialisme yang merupakan bagian dari kapitalisme telah sampai pula pada bidang pendidikan. Faktor inilah yang membuat “harga pendidikan” di Indonesia menjadi mahal. Simak saja, biaya herregistrasi untuk anak Sekolah Dasar (SD) kini rata-rata telah mencapai angka ratusan ribu rupiah. Bahkan uang pangkal masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) ada yang mencapai jutaan rupiah. Lalu bagaimana mungkin rakyat Indonesia yang “miskin” mampu “meraih kekayaan”.
Megaproyek “pengkapitalismetisasian pendidikan” yang memaksa sistem pendidikan Indonesia tunduk dan terdikte pada aturan baku “pembisnismahalan” seluruh pembiayaan yang berkenaan dengan kebijakan seputar pendidikan, terpaksa menyeret publik pada perilaku pembodohan-bukan pencerdasan. Wajah pendidikan di negeri ini sekarang disinyalir tak mampu merubah generasi ini menjadi generasi yang dapat melakukan perubahan besar bagi bangsa, bahkan mungkin akan mengalami kejatuhannya.
Sesuatu yang perlu  dilakukan sekarang ialah mengubah sistem pendidikan kita. Pendidikan gratis, tetapi gaji guru besar. Kalaupun pendidikan tak bisa digratiskan, setidaknya dapat dimurahkan dengan memberikan biaya bantuan pada rakyat miskin.  
Pendidikan yang berkualitas memang butuh pembiayaan yang besar. Namun yang menjadi persoalan adalah yang seharusnya menanggulangi hal tersebut adalah pemerintah yang seharusnya menjamin setiap warganya untuk memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat untuk mendapatkan pendidikan bermutu dan berkualitas dalam rangka menjawab tantangan global.
1.Ciri-ciri Globalisasi
Kemajuan sains dan teknologi menandai terjadinya era globalisasi, dimana terjadi suatu periode inovasi teknologi yang mempesona, peluang ekonomi yang tidak pernah terjadi sebelumnya, reformasi politik yang menakjubkan dan kelahiran kultur yang besar.  Ini akan menjadi dasawarsa yang tidak sama dengan yang pernah terjadi sebelumnya. Thomas L. Friedman berpendapat, bnahwa substansi globalisasi sebenarnya terdapat di dalam dunia makna atau pada nilai-nilai cultural. Globalisasi merupakan sebuah jaringan dari segala macam potensi manusia, terutama pada bagaimana manusia mengaktualisasikan dirinya  lewat relasi-relasi yang signifikan.
Pada era global, perdagangan, perjalanan dan televisi meletakkan landasan bagi gaya hidup golabl. Media film dan televise menyampaikan citra yang sama ke seluruh desa global. Citra hidup menjalar ke seluruh penjuru dunia dengan kecepatan cahaya, menyebarkan isinya kemana-mana. pasar tidak  lagi sekedar berfungsi sebagai arena jual beli, tetapi juga merupakan pusat cloning kebudayaan yang berkembang tanpa batas.
Pendidikan tidak lebih dari bagian sebuah tsrategi pasa r global atau agen dari komoditi dan ekonomi global, sedangkan ekonomi itu sendiri tidak lebih dari sebauh arena reproduksi. Ketika batas global melenyap akibat meningkatnya interaksi lewat ekonomi dan komunikasi, segmentasi terikat oleh batas teritorial dan ruang.
Gaya hidup global ini menjadi panarama kehidupan dalam masyarakat global. Pertukaran kamanan, musik dan mode akan menjadi gaya hidup internasional universal. Berkat teknologi satelit, anak-anak di Indonesia mengenakan "T.Shitnya" Zidane zidan, seorang pemain sepakbola terbaik dunia dari Prancis, melengkapi ruang kamrnya dengan dengan perabotan komputer, internet, E-mail, dengan makan kentuki, berbusana gamis ala Arab, mndengarkan musik Ummi Kalsum bahkan lagu-lagu dan tarian Hindustan dari India. Di samping itu sistem sosial yang berbasiskan teknologi intelektual dan pemberian jasa,  menjadi fenomena bagi masyarakat global. Dalam konseptualisasi Daniel Bell, masyarakat global mengandung lima dimensi, yaitu :
1.    Pergeseran dari ekonomi yang memproduksi barang dan pekerja ekonomi jasa.
2.    pertambahan jumlah dan penagruh kelas professional dan pekerja teknis.
3.    Pengaturan (organisasi) masyarakat berdasarkan pengetahuan teoritis, yakni penggabungan sains, teknologi dan ekonomi.
4.    Manajemen pertumbuhan teknologi dengan metode peramalan dan pengendalian teknologi, dan
5.    Titik berat pada perkembangan metode-metode intelektual.

Konsumsi telah menjadi bagian yang sangat penting dalam hibungan ekonomi, social, budaya dan politik yang tidak bisa lagi semata-mata dengan konsukuensi hubungan tertentu dengan produksi.
Dalam era konsumsi ini periklanan telah menempati peran penting dalam menjaul gaya hidup yang kapitalistik melalui pengembangan pasa dan membangun image, bagaimana hubungan-hubungan social berkaitan dengan jenis-jenis konsumsi tertentu.
Media massa termasuk di negara-negara berkembang setiap hari mau tidak mau harus ikut menawarkan gaya hidup ini tanpa kendali. Koran dan acara televise telah didikte sebagai agen iklan dibandingan sebagai tempat menyiarkan pembentukan opini atau pikiran-pikiran dan pesan moral. Sehingga kesadaran tentang peta hunian sosial misalnya, sekarang ini tidak dibagi ke dalam geopolitik negara, tetapi digambar dalam imajinasi masyarakat berdasarkan peta sosial gaya hidup baru.  Hal ini tercermin pada mall-mall yang bukan sekedar took-tko tempat pembelanjaan biasa, tanamanya terkait dengan simpul dan sekligus mode bagi sejumlah besar orang yang melakukan identifikasi jati diri sebagai anggota budaya konsumerisme kontemporer. Hal-hal seperti ini maka dapat dipahami, bahwa di satu segi telah terjadi globaliasi, namun di segi yang lain telah terjadi pluralisasi. Pluralisme kini telah menjadi perkara harga diri dan indentitas individual. Dalam pandangan yang lebih umum, pluralisme tampak bagai perangkap yang tak terelakkan. Tata nilai-, religi atau ideology tak mungkin lagi tersembunyi dalam isolasi superioritas gambaran dirinya yang aman.
Budaya global telah menyeret keluar untuk berhadapan, bahkan interaksi ketat dengan tata nilai, ideologi dan religi lain. Hal ini akan menimbulkan fenomena-fenomena kuat yang cenderung bertentangan. Misalnya muncul gerakan-gerakan etinis yang ingin membuat otonomi sendiri.
Tiga fator penyebab terjadinya beberapa fenomena yang terlihat saling bertentangan tersebut, yaitu :
1.    Dengan jaringan teknologi kumunikasi yang begitu efisien dengan jangkaua global, sehingga mode dan isu local dengan cepat bida menjadi isi dan pola global. Misalnya penyanyi pop [dangdut] pinggiran dalam waktu beberapa saat saja bisa menjadi idola dunia. Hal ini mendorng terwujudnya keseragaman.
2.    Segala macam informasi yang membanjiri secara serentak dan simultan memaksa sikap semakin toleran terhadap perbedaan dan pertentangan. Itu sebabnya batas-batas barat-timur, moderen-tradisional, perbedaan agama dan sebagainya menjadi runtuh. Dunia menjadi begitu transparan bagai tanoa dinding, sehingga orang bisa saling melihat kelebihan dan kekurangan masing-masing.
3.     Informasi yang memiliki sifat istimewa takhabis dikonsumsi, semakin dipakai malah semakin berkembang dan tak mungkin pula untuk dikontrol secara terpusat. Berita pada suatu media mungkin bisa disensor, namun sumber lain akan bermunculan. Kritik orang lain akan semakin tak terbendung dan didikte.
Dari uraian tersebut di atas, baik yang berkaitan dengan teknologi informasi, gaya hidup dan lain-lain, maka dapat dipahami oleh Jalaludin Rahmat, bahwa gaya hidup masyarakat global ditandai oleh :
1.    Pembagian kerja yang menyebabkan orang maing asing dari orang lainnya serta ikatan kelaurga dan komunitas yang makin melemah,
2.    Otoritas kelompok terpelajar dan pimpinan moral memudar bersamaan dengan hancurnya keyakinan beragama.
3.    Masyarakat didominasi oleh keemasan mengejar status dan pencarian pemimpin-pemimpin serta keyakinan-keyakinan baru.
 Era  informsi yang mengancam eksistensi nilai-nilai kemanusiaan di muka bumi adalah iklan sebagai agen kulturan dan kapitalismen global. Iklan melaluikata-kata magisnya dan tubuh manusia menarik manusia untuk bersikap konsumtif dan hedonis. Di sisi lain, adegan-adegan kekerasan dan seks dalam film seperti sudah menjadi makanan sehari-hari bagi kita baik di desa maupun di kota. Berita merebaknya kasus perbuatan cabul seorang oknum anggota dewan dengan penyanyi dangdut dan smak down   di televisi, dan kasus kematian penyangi pok karena diduga over dosis narkoba merupakan sesuatu yang tak terhindarkan dari perhatian, dan efek buruknya akan mudah ditiru oleh sebagian masyarakat pemirsanya.
 1.Visi Pendidikan islam dalam menjawab tantangan global
Pendidikan Islam memiliki visi dan orientasi pada bagaimana seluruh aktivitas yang dilakukan dan pemanfaatan seluruh potensi yang ada, mampu menopang pencapaian tujuan-tujuan yang telah disepakati. Dengan begitu, pendidikan Islam tidak bersifat kaku dan statis, karena orientasinya tidaklah kepada materi (bahan pelajaran) tapi kepada tujuan akhir dari pendidikan Islam itu sendiri, yaitu terbinanya insan muttaqin, yaitu insan yang mampu memfungsikan eksistensinya secara paripurna, baik sebagai hamba ataupun sebagai khalifah di muka bumi ini, secara serasi dan seimbang. Sehubungan dengan hal ini, Kuntowijoyo menyatakan bahwa dalam ajaran Islam, posisi manusia merupakan posisi sentral dan memiliki derajat yang tinggi sebagai wakil dan pelaksana amanat Tuhan di muka bumi. Untuk mencapai kualitas tersebut, di samping manusia harus senantiasa berjalan sesuai dengan peraturan Ilahiah, manusia juga diberikan kebebasan untuk mengaktualisasikan eksistensinya seoptimal mungkin. Dengan visi teologis ini, diharapkan manusia akan mampu menjadi rahmat li al-'alamin.
Lain dari pada itu visi dan orientasi pendidikan Islam diarahkan pada pencapaian pertumbuhan kepribadian peserta didik sebagai manusia, secara serasi dan seimbang, baik pada aspek jasmaniah maupun rohaniah. Dengan visi ini peserta didik akan mampu menjadi sosok pribadi yang berkualitas paripurna, sebagai prototipe manusia ideal. Kepribadian idealistik tersebut, menurut Hadari Nawawi dan Mimi Martini, dapat dilihat bila peserta didik mampu memiliki setidaknya enam karakteristik, yang dalam prespektif pendidikan Islam disebut sebagai manusia paripurna (al-Insan al-Kamil), yaitu : 
a.    Jasmani yang sehat dan menunjang terbentuknya sikap dan prestasi keilmuan yang maksimal. Untuk itu, pendidikan Islam harus mampu menstimulasi peserta didiknya untuk mampu memelihara dan menjaga kesehatan jasmaninya, serta memanfaatkannya untuk mampu mendukung tercapainya tujuan pendidikan yang diinginkan.
b.    Kualitas psikologis yang stabil, yaitu dalam arti memiliki pengetahuan yang luas dan ketajaman analisis rasional yang tinggi, memiliki ketenangan jiwa, serta kemapanan emosional.
c.    Memiliki sikap prilaku sosial yang terpuji, terutama berupa kepekaan atau kepedulian sosial yang tinggi dan sebagai warga negara yang baik dalam keikutsertaannya secara aktif, baik langsung maupun tidak langsung, dalam pelaksanaan pembangunan bangsa.
d.    Kualitas psikomotorik yang tinggi. Kualitas ini termanifestasi pada kemampuan peserta didik dalam menguasai sejumlah keterampilan dan skill tertentu sesuai dengan tuntutan lapangan kerja yang ada, secara profesional.
e.    Memiliki kepribadian yang  tangguh dan mandiri.
f.    Memiliki kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. dan mampu mewarnai seluruh aktivitasnya, sehingga menumbuhkan sikap terpuji. Kondisi ini akan mampu mengantarkan peserta didik untuk meraih kebahagiaan dan kesuksesan dalam kehidupannya, baik di dunia maupun di akhirat, secara serasi dan seimbang.

    Sehubungan dengan hal di atas, Sayyid Quthb berpendapat bahwa pendidikan Islam adalah sistem pendidikan yang menekankan pada pola pendidikan yang menyeluruh dan mampu menyentuh seluruh potensi yang dimiliki peserta didik dan aspek kehidupan manusia. Materi pendidikan (pelajaran) harus mampu menstimulir fitrah peserta didik. Baik itu fitrah ruhani, akal, dan perasaan, sehingga memberikan corak serta sekaligus mewarnai segala aktivitas hidupnya di muka bumi, baik sebagai khalifah fi al-ardh maupun sebagai hamba. Bentuk materi pelajaran yang demikian, akan mampu menghasilkan sosok peserta didik sebagai manusia seutuhnya (al-Insan al-Kamil).
    Hal tersebut dikarenakan manusia, dalam konsepsi pendidikan Islam, senantiasa dipandang secara integral dan seimbang. Oleh karenanya wajar jika pendidikan Islam dituntut untuk menawarkan pendidikan yang universal yang mampu mengayomi seluruh aspek peserta didik secara utuh, baik sebagai makhluk individu, Tuhan, maupun sosial.

2. Menghadapi Era Global
Berkiatan dengan strategi pendidikan islam dalam menghadapi era global, ada baiknya kita  telusuri apa yang ada dalam Sejarah Kebudayaan Islam, dimana para ilmuwan muslim memiliki sikap positif terhadap ilmu dan teknologi yang non islamis, seperti yang berasal dari Yunanida Persia dan sebagainya.
Didasari dengan sikap optimisme sesuai ajaran Islam, para ilmuwan (ulama dan filosuf) secara antusias mentransper ilmu pengetahuan dan teknologi dari luar yang kemudian dikembangkan menjadi ilmu dan teknologi yang islamis. Mereka mampu meng-Islamkan Ilmu pengetahuan dan teknologi itu, berkat kecerdasan dan daya kreatifitas tinggi yang dimotivasi oleh ajaran Al Quran serta daya selektivitas terhadap jenis-jenis ilmu pengetahuan dari luar, sehinga bentuk-bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi yang membahayakan aqidah mereka, ditinggalkan oleh mereka, seperti dalam bidang filsafat yang berifat hedonistic dan bidang kesusastran yang penuh dengan hayal dan kesedihan (tragedi). Karena Islam mengajarkan kehidupan yang penuh optimisme, rahmat dan berkah dari Allah bukan mengumbar nafsu rendah dan sikap pesimisme dan melankonisme, maka mereka mengembangkan pola fikirnya dalam Ilmu Kalam yang secara pilosofis menganlisis tentang kehidupan eskatologis dan metafisis dimana Tuhan menjadi penentu yang final. Berbagai kesusastraan, seperti cerita Hayyu bin Yadzqan, dimana jiwa ke-Islaman lebih ditonjolkan.
 Strategi pendidikan Islam di era Global. Dimana ilmu pengetahuan dan teknologi  moderen sebagai pilar utamanya adalah terletak pada kemampuan mengkonvigurasikan sistem nilai Islami yang akomodatif terhadap aspirasi umat Islam untuk berpacu dalam kompetisi di bidang Ilmu pengetahuan dan teknologi di satu sisi, dan kemapuan psikologis dan pedagogis yang berdaya kreatif untuk mentransper IpTek itu sendiri. Itulah program minimal pendidikan Islam yang perlu direncanakan dan dilaksanakan saat ini. Etos ilmiah dan kerja keras dan belajar, maka pengembangan materi kurikulum pendidikan Islam sekurang-kurangnya adalah materi-materi pelajaran yang mengandung motivasi dan persuasi untuk mengembangkan daya fakir dan dzikir anak didik dalam proses belajar mengajar.
Sejalan dengan pola pikir di atas, maka tujuan pendidikan Islam di semua jenjang pendidikan perlu dirumuskan kembali berdasarkan atas tuntutan modernitas umat dimana hubungan antara kepentingan modernisasi dengan kepentingan kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat tergambar jelas. Sehingga anak didik kelak menjadi sarjana apa dan memiliki keahlian apa pun, dalam kegiatan dan aktivitasnya selalu mendasari dirinya dengan nilai-nilai pengambaan diri kepada Allah SWT.
D. Kesimpulan
1.    Permasalahan yang dihadapi umat Islam cukup beragam baik dari aspek budaya sosial pendidikan dan lainnya. Jika tidak terdapat shock terapi untuk mengobatinya atau tidak adanya kepedulian terhadap pendidikan maka selamanya akan menjadi korban dari globalisasi
2.    pendidikan yang dilakukan oleh umat Islam hendaknya dapat menjawab tantangan masa depan  dengan tidak melepaskan keyakinan dan memisahkan antara keyakinan dan pengetahuan, tetapi pendidikan hendaknya diarahkan pada terintegrasinya pengetahuan dengan keyakinan keislaman  untuk menjadikan manusia yang sempurna al-insan al-kamil
3.    pendidikan adalah senjata yang sangat ampuh untuk memajuakan sebuah bangsa hendaklah pendidikan diarahakan pada masa mendatang atau bersipat antisipatoris.
4.    Perubahan jaman harus disikapi secara arif dan pendidikan islam harus dapat menyesuaikan dengan perkembangan jaman tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar